Soe Hok Gie

Sosoknya sangat terkenal karena tulisannya yang sangat kritis terhadap pemerintah orde lama dan orde baru meskipun ia meninggal dalam usia muda namanya sangat dikenal dikalangan para aktivis karena tulisan-tulisan dan pemikirannya yang sangat fenomenal. Soe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit seorang novelis dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

John Maxwell berkomentar, “Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie” tuturnya. 

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

10 Desember 1959
Siang tadi, aku bertemu dengan seorang (bukan pengemis) yang tengah memakan kulit mangga. Rupanya ia kelaparan. Inilah salah-satu gejala yang nampak di ibu kota.
Ya, dua kilometer dari pemakan kulit “paduka” kita mungkin lagi tertawa-ketawa, makan-makan dengan istrinya yang cantik. Dan kalau melihat gejala pemakan kulit itu, alangkah bangga hatiku. “Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kita lah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan Indonesia.”
“Aku besertamu, orang-orang malang.” Indonesia sekarang turun, turun dan selama tantang sejarah belum dapat dijawabnya, ia akan hancur. “Tanahku yang malang.” Harga barang membumbung semua makin payah. Gerombolan meneror. Tentara meneror. Semua menjadi teror.
Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu, palsu.

27 Mei 1960
Bagiku cinta bukan perkawinan. Dulu kurang lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta=nafsu. Tapi aku sangsi akan kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu akan cemar bila kawin. Akupun telah pernah merasa jatuh simpati dengan orang-orang tertentu, dan aku yakin itu bukan nafsu.

8 Februari 1958
Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.

12 Juni 1960
Masyarakat Borjuis
Ada suatu yang patut ditangisi
Aku kira kau pun tahu
Masyarakatmu, masyarakat borjuis
Tiada kebenaran disana
Dan kalian selalu menghindarinya
Aku selalu serukan (dalam hati tentu)
“Wahai, kaum proletar sedunia”
berdoalah untuk masyarakat borjuis.”
Ada golongan yang tercampak dari kebenaran
Dan berdiri atas nilai kepalsuan
Aku kira, tiada bahagia disana
Sebab tiada kasih, kebenaran dan keindahan dalam kepalsuan
Aku akan selalu berdoa baginya
Aku kira anda tiada kenal kasih
(Nafsu tentu ada)
Apakah bernilai dengan uang
Dan padamu, kawan
Semua adalah uang, perhitungan saldo
Tiada yang indah dalam kepalsuan
(Engkau tentu yakin?)
Di sinilah, amoral ditutup oleh amoral
Di sinilah, tabir-tabir yang terlihat
Dan seringkali aku bersepeda sore-sore
Bertemu dengan gadismu (borjuis pula)
Aku begitu sedih dan kasih
Ya, Tuhan berilah mereka kebenaran
Aku tahu
Gadis cantik di mobil, bergaun abu-abu
Tapi bagiku tiada apa.

9 Agustus 1960
Aku Cuma berfikir: Betapa malangnya nasib bangsa yang Cuma punya satu alternatif: totaliterisme. Moga-moga, terutama bagi Indonesia, Cuma punya satu pilihan: demokrasi.


16 Desember 1961
Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: “dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan.” Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda mati. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum sampai kehilangan benda yang paling bernilai ini. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurdlah hidup kita.


30 Maret 1962
Kata Profesor Beerling seseorang hanya dapat hidup selama masih punya harapan-harapan. Tapi sekarang aku berfikir sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik atau pacarnya. Tetapi dapatkah ia berkorban buat tidak apa-apa? Aku sekarang tengah terlibat dalam pemikiran ini. Sangat pesimis dan hope for nothing. Aku tidak percaya akan suatu kejujuran dari ide-ide yang berkuasa. Tetapi aku sekarang masih mau hidup. Aku tak tahu motif apa yang ada dalam unconscious mind-ku sendiri.
Pandanganku yang agak murung, bahkan skeptis ini pernah dinamakan sebagai pandangan destruktif. Memang life for nothing agaknya sudah aku terima sebagai kenyataan. Mungkin ada motif lain yang menggerakkannya. Barangkalia ku punya perasaan untuk berkorban atau merasa sebagai hero dalam ketidakmengertian. Siapa tahu? Apakah rasa kepuasan akan datang bila aku berkorban? Misalnya saja selau membebankan diri dalam situasi yang paling tidak disenangi orang. Kalau begini memang dasar sikap hidupku, situasi akan agak aneh. Aku tidak pernah membuat sesuatu untuk pameran sok-sok-an. Padangan yang moralis merasa bahagia dalam kebahagiaan semua. Sekarang rasanya masih terlalu pagi untuk menganalisa diriku. Lagipula dahulu aku selalu mengejek bila orang tua-tua berkata dan percaya akan takdir. Makin lama aku membaca makin timbul kesadaran ada sesuatu kekuatan yang supernatural, irrasional dan tidak dapat dimengerti yang menguasai seluruh masyarakat dan pribadi. Dan seolah-olah manusia tidak dapat menolaknya. Apakah sense untuk mengkhianati sebagai kekuatan yang mutlak? Entah. Tapi aku kira begitu.


12 April 1962
Betapa berat dan sukarnya perjuangan menuju kebenaran. Betapa gigihnya dekaden-dekaden ilmiah bertahan. Dan betapa kita harus memahaminya. Kita dalam bertindak dengan benar memakai segi rasio dan intuisi sedang mereka hanya membakar perasaan lalu pergi begitu saja. Ya, dan kita harus merintis dan berjuang membasmi akar-akar prasangka yang jauh kedalam alam bawah sadar. Dan rumput-rumput prasangka akan mudah bertumbuh, sedang pohon kebenaran begitu sukar.

31 Desember 1962
Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus bisa bebas di segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu. Tetapi mereka tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya ialah bertindak demi tanggung jawab sosialnya bila keadaan telah mendesak. Kelompok intelektual yang terus berdiam dalam keadaan yang mendesak telah melunturkan semua kemanusiaannya. Tidak ada indahnya (dalam arti romantik) penghukuman mereka, tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.
Harus mengatasi ketakutan. Akhir-akhir ini aku ingin memublikasi suatu seruan terhadap keberanian bicara, yang kalau bisa dipublikasi. Aku kira tak ada yang mau memuatnya. Kita perlu konsepsi dewasa ini. Segala usaha yang bisa kita lakukan harus dikerahkan unruk bisa melahirkan. Dan untuk aku, yang harus dilakukan adalah belajar dan mencoba mengerti persioalan-persoalan dewasa ini.

19 Februari 1963
Kita tidak boleh menggantungkan nasib kita pada konsepsi, tapi harus menghayati dan menyadarinya.

16 Maret 1964
Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari diri lagi maka terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba, seperti dalam revolusi dahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan terjun ke lumpur ini.

18 Januari 1966
Aneh, demonstrasi ‘liar’ ini (KAMI) mendapatkan sambutan yang luar biasa. Kira-kira lima ribu mahasiswa ikut dan secara kilat truk-truk yang lewat di salemba distop, diminta untuk mengantarkan mahasiswa ke pejambon (deparlu). Waktu itu, hatiku agak ‘tegang’ karena aku tahu bahwa demonstrasi ini adalah liar dan dalam keadaan seperti ini semuanya mungkin terjadi.
Memang karena disiplin kita bersedia untuk menderita…tetapi to the last point, apakah ABRI akan memihak rakyat yang menderita dan bersedia menujukan ujung bayonetnya pada koruptor dan kalau perlu dengan pemerintah korup ini?

24 Maret 1966
Saudara-saudara pendengar
Kita sudah muak dengan slogan-slogan kosong. Kita sudah muak, muak sekali lagi muak. Kita tidak mau pidato-pidato yang setinggi langit yang isinya kosong belaka. Kita mau pemimpin-pemimpin yang rendah hati, yang melihat kenyataan yang riel dan kemudian bekerja dengan keras memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada.
Saudara-saudara pendengar
Perjoangan kita yang yang sekarang ini adalah perjoangan untuk menegakkan daya kritis dari bangsa Indonesia, karena hanya dengan daya kritis, kita bisa melihat persoalan yang sebenarnya dan karena itu dapat secara tepat menanggulangi kesulitan-kesulitan kita. Ini adalah jalan menuju kearah kejayaan bangsa Indonesia. Kita tisdak lagi akan berkata bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya, karena melihat di pasar, beberapa orang rakyat membeli bunga gladiol untuk Lebaran. Kita tidak akan berkata bahwa bangsa Indonesia ini makmur, karena tidak menggoreng batu. Tapi kita yang akan melihat situasi yang sebenarnya dan bekerja menanggulangi kesulitan yang sebenarnya.
Saudara-saudara pendengar
Musuh kita yang sebenarnya ialah kebohongan-kebohongan dalam slogan-slogan. Tapi musuh kita yang utama adalah semua orang yang menyebarkan slogan-slogan yang mau mematikan daya kritis kita. Musuh kita adalah orang-orang yang menyatakana dirinya sebagai orang yang tidak pernah salah kata-kata dan perbuatannya, musuh kita adalah orang yang tidak mau dikritik.
Kita akan berjoang melawan semua ini. Akan kita tegakkan kebenaran yang terang bagi rakyat.
Satu-satunya cara yang tepat untuk membereskan keadaan negara kita adalah dengan tindakan-tindakan yang tegas. Siapa saja yang bersalah harus diadili, tanpa melihat jabatannya ataupun jasa-jasanya. Setiap koruptor harus ditangkap tanpa melihat apakah dia baju hijau, baju putih dan baju merah. Hanya dengan tindakan-tindakan yang tegas ini, rakyat dapat dipulihakan kepercayaannya dan dalam waktu yang singkat (karena kita berlomba dengan waktu), ekonomi akan mulai naik. Konsekuensi dari tindakan-tindakan tegas ini telah dipikirkan, yaitu mungkin sekali akan terjadi clash-clash fisik antara beberapa kekuatan masyarakat. Tetapi ini hanyalah jalan satu-satunya yang dilihat.
28 April 1966
Apa yang telah dilakukan selama ini barulah merupakan sebagain kecil dari pembaharuan-pembaharuan yang harus dijalankan. Kita harus mengadakan pembaharuan di dalam pandangan berfikir, dalam norma-norma sosial dan hukum, dalam sistem-sistem kepemimpinan dan pemerintahan. Pada saat ini sangat perlu dikembangkan pemikiran kritis dan sehat. Janganlah kita kembali pada zamannya di mana satu suara yang tidak seirama lantas buru-buru dicap kontara revolusi, ditunggangi dsb. Berilah kesempatan pada tiap orang untuk dapat mengemukakan pendapatnya denagn bebas dan aman, tanpa ada tekanan apapun dari siapapun juga. Cegahlah jangan sampai ada satu golongan atau pribadi yang dapat merasa cukup kuat sehingga tidak mau menerima kritik ataupun pandangan pemikiran yang lain dari apa yang dianggapnya benar. Kita harus belajar dari pengalaman-pengalaman yang kita alami dahulu. Hanya dengan adanya jaminan kebebasan mimbar dan kebebasan mengemukakan pendapat, dapatlah dicegah terulangnya zaman diktator partai, diktator pers, diltator golongan, ataupun diktator instansi dan jawatan. Pada saat dan tingkatan perjuangan generasi muda sekarang, pelaksanaan kebebasan mengemukakan pendapat ini masih harus ditingkatkan,dan dalam hal ini sangatlah tepat biala par mahasiswa dan pelajar memberikan ciontoh pada masyarakat. Perhatikanlah bahwa di kalangan pelajar, pemuda dan mahasiswa tidak ada diktator KAMI dan diktator KAPPI, tidak ada warlords dalam resdimen dan batalion-batalion mahasiswa dan pelajar. Dengan demikian dapatlah ini dicontoh oleh kalangan masyarakat lainnya, mulai dari sarjana-sarjana, buruh, tani, pengusaha sampai ke pengemudi-pengemudi beca. Bukankah perjuanga kita semua ini ditujukan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan?

26 November 1966 surat untuk Herman Lantang
Saya hanya katakan bahwa soal-soal yang saya hadapi adalah soal-soal prinsip. Saya akan maju terus sendiri.

25 Desember 1967 surat untuk Herman Lantang
Faktor lain yang membuat saya merasa “sendiri” sekarang adalah bahwa saya makin tidak dimengerti oleh kawan-kawan. Mereka mengeluh bahwa saya keras kepala. Mungkin keluhan mereka benar. But I can’t change my personality. Saya tidak mau mengubah pendirian-pendirina saya selama saya percaya bahwa pendirian saya benar. Dan saya tak mau menjadi manusia massa, yang sikap pribadinya ditentukan oleh poster, slogan dan intimidasi. Barangkali orang-orang seperti saya hanya bisa muncul dalam saat-saat krisis. Sesudah itu masyarakat membutuhkan pemimpin-pemimpin yang lunak. Dan mereka tidak berfikir kreatif, terlalu pragmatis. Kadang-kadang saya takut memikirkan masa depan.
Dalam setiap masyarakat yang kacau, selalu ada kecenderungan untuk mencari kambing hitam, dan ikut histeria massa. Mereka yang akan menggunakan akal sehatnya akan jadi kurban. Tetapi jika kita ikut arus massa kita akan hancur. Pada saat-saat seperti inilah manusia-manusia jujur terpanggil untuk menyelamatkan masyarakat.

30 Juli 1968
Saya telah memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafiakn. Saya tak mau jadi pohon bambu, saya mau jadi pohon oak yang berani menentang angin.

20 Agustus 1968
Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis tau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya. Kadang-kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah. Apatiskah atau anarki. Moga-moga tidak menjadi kedua-duanya.

4 Juli 1967
Sampai detik ini saya tidak pernah merasa bahwa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang saya ekstremis. Tetapi bagi saya ada suatu hal yang pasti. Kita harus selalu jujur pada hati nurani kita, betapapun mahal harganya. Dan sebagai manusia kita dihadapkan oleh pemilihan-pemilihan yang meragukan. Sebelum kita melakukan sesuatu kita harus menanyakan diri kita sendiri. “Siapakah saya?” Dan jawaban kita menentukan pilihan kita..
Kadang-kadang kita bertanya pada diri kita sendiri: “Siapakah saya?” Apakah saya seorang manusia yangs sedang belajar dalam kehidupan ini dan mencoba terus menerus untuk berkembang dan menilai secara kritis segala situasi. Walaupun pengetahuan dan pengalaman saya terbatas?
Saya katakan pada diri saya “Saya adalah seoarang mahasiswa. Sebagai mahasiswa saya tak boleh mengingkari ujud saya. Sebagai seorqng pemuda yang masih belajar dan mempunyai banyak cita-cita, saya harus bertindak sesuai dengan ujud tadi.”
Karena itu saya akan selalu berani untuk terus terang, walaupun ada kemungkinan saya akan salah tindak. Lebih baik bertindak keliru daripada tidak bertindak karena takut salah. Kalaupun saya jujur pada diri saya, saya yakin akhirnya saya akan menemukan arah yang tepat. Saya adalah seorang manusia, buakan alat siapapun. Kebenaran tidaklah datang dalam bentuk instruksi dari siapapun juga, tetapi harus dihayati secara “kreatif.” A man is as he thinks.

Selasa, 1 April 1969
Sebuah Tanya
akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(kabut tipis pun turun pelan-pelan
di lembah kasih, lembah mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika kudekap kau
dekaplah lebih mesra, lebih dekat
apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta
(hari pun menjadi malam
kulihat semuanya menjadi muram
wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang kita tidak mengerti
seperti kabut pagi itu)
manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru


No comments:

Post a Comment