Sebagai anak muda Indonesia, kamu sering
kehilangan arah nggak sih saat ingin menentukan siapa yang pantas jadi panutan
hidup? Tokoh-tokoh besar yang tampak bijaksana, ternyata jadi tersangka kasus
korupsi. Mereka yang muda dan banyak berkeliaran di layar kaca, bercerita soal
cinta yang tidak membumi. Tidak adakah pemuda Indonesia yang bisa diteladani?
Eits, jangan salah. Kita pernah punya anak
muda berkualitas yang layak dijadikan role model. Dia adalah pria keturunan
Cina pribumi, bernama Soe Hok Gie. Walau sudah kembali ke pangkuan Tuhan pada
tahun 1969, semua yang pernah dia lakukan masih sangat relevan untuk kita
contoh hari ini. Dari Gie kamu bisa belajar tentang hidup yang sebenarnya. Dia
punya otak, nyali, idealisme juga kisah cinta yang tak kalah manis.
1. Gie Mengambil Jurusan Sesuai Rencana
(Passion) Yang Gak Mainstream
Mengambil jurusan sastra di UI
Kamu baru mau kuliah? Mau ambil jurusan apa,
hayo? Apakah kamu termasuk anak muda yang percaya jika jurusan yang bisa
memberikan kehidupan yang baik itu hanya ada 3 di muka bumi: Kedokteran, Teknik,
Hukum? Gie akan memberikan kamu pandangan baru: kamu bisa berhasil jika
mengikuti panggilan hati untuk menentukan jurusan.
Gie adalah mahasiswa Universitas Indonesia,
Fakultas Sastra, Jurusan Sejarah. Bahkan sampai saat ini mahasiswa Jurusan
Sastra masih sering dicemooh karena dianggap akan sulit mencari pekerjaan,
bukan? Kecintaan Gie pada sastra tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
keluarganya. Ayahnya, Soe Li Pit adalah seorang novelis. Ia dan kakaknya
(budayawan, filsuf, dan dosen Australian National University Arief Budiman)
banyak menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan umum sejak mereka masih
kecil.
Tjerita Dari Blora, Pramoedya
Semasa SMP, Gie sudah membaca buku langka
karangan Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Cerita Dari Blora”. Masuk ke SMA,
Gie memilih untuk konsisten menekuni jalur sastra. Ia masuk ke SMA Kolese
Kanisius dengan mengambil Jurusan Sastra. Tidak peduli kakaknya masuk ke
Jurusan Ilmu Alam yang lebih bergengsi.
Keberhasilan Gie menyuarakan opininya lewat
berbagai esai kritis jadi bukti pentingnya menuruti panggilan hatimu. Gak usah
dengerin apa kata orang kalau mereka bilang pilihan jurusanmu nggak akan bisa
menghidupimu kelak. Mutiara akan tetap jadi mutiara kok, dimanapun dia
diletakkan.
2. Selalu Menyatakan Keberpihakan
Terus menunjukkan keberpihakan
Gie tidak pernah memilih hidup di arena
abu-abu. Ia selalu menyatakan keberpihakannya dalam setiap isu. Bahkan waktu
SMP dia pernah tidak naik kelas karena berani mengungkapkan pendapatnya pada
guru. Dihadapkan pada otoritas, Gie tidak menyerah. Karena merasa benar, ia
memilih untuk pindah sekolah.
“Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada
kemunafikan”
Kutipan kata-kata Gie diatas memang
benar-benar jadi pedomannya selama hidup. Semasa kuliah Gie jadi aktivis yang
sangat vokal untuk menentang upaya hegemoni Orde Lama. Dia menggalakkan forum
diskusi dan klub film di UI. Gie pun memilih untuk menulis bagi surat kabar
yang beraliran kiri.
Pandangan Gie terhadap otoritas guru
Keberanian Gie membuatnya jadi salah satu
aktivis paling dicari pada masa pemerintahan Soekarno. Gie dianggap terlalu
berani melawan penguasa. Bahkan ibu dan kakaknya tidak bisa memahami mengapa
Gie harus segetol itu menunjukkan sikapnya yang berseberangan. Beberapa
rekannya juga menjauh, karena enggan dianggap sama vokalnya. Gie tidak gentar
menghadapi semua itu.
Soe Hok Gie dengan gagah menunjukkan
keberaniannya. Tidak peduli apapun yang harus dihadapi, ia hanya enggan apatis.
Baginya menyatakan keberpihakan adalah bentuk kebebasan hakiki dari penjajahan.
Dalam hidup, seseorang memang harus memilih. Atau tidak akan menjadi apa-apa.
Aktivis mahasiswa yang vokal
“Hanya ada 2 pilihan, menjadi apatis atau
mengikuti arus. Tetapi aku memilih untuk jadi manusia merdeka.“
3. Mencintai Indonesia Dengan Mengakrabi
Setiap Jengkal Tanahnya
Gie (kanan), Herman Lantang dan Idhan Lubis
Gie jadi salah satu pendiri Mahasiswa
Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia. Salah satu kegiatan utama Mapala
UI adalah naik gunung. Berbeda dari yang biasa dilakukan anak-anak muda
sekarang, naik gunung buat foto-foto karena demam Film 5 cm – naik gunung di
jaman Gie itu ibarat perang.
Belum ada trek yang jelas bagi pendaki. Tim
pendakian harus memotong semak belukar untuk membuka jalur. Tidak ada keril
yang ringan seperti sekarang. Mereka harus membawa ransel rangka alumunium
bekas pengangkut barang tentara yang kasar dan berat. Alat-alat keselamatan
seperti kantung tidur, webbing dan pakaian berlapis polar juga belum ditemukan.
Dalam catatan hariannya yang kemudian
dibukukan dan kita kenal sebagai “Catatan Harian Seorang Demonstran” — Gie
mengutip perkataan penyair Amerika Walt Whitman untuk menjelaskan mengapa ia
dan kawan-kawannya perlu naik gunung:
“Now I see the secret of the making of the
best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”
Gie di Lembah Mandalawangi, Gunung Pangrango
Gie memang sangat mencintai alam. Dia bahkan
khusus menulis sajak bagi Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango. Bagi Gie,
tidak akan ada kecintaan yang timbul tanpa pernah menginjakkan kaki di atasnya.
Slogan-slogan manis tentang cinta tanah air adalah omong kosong baginya. Kata
Gie,
“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari
hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara
sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat
ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan
jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat.
Karena itulah kami naik gunung.”
Kamu yang udah traveling keliling Eropa tapi
belum pernah menginjakkan kaki di Mahameru, malu gak kalau menilik apa yang
sudah dilakukan Gie?
4. Elegan Menghadapi Patah Hati
Penggambaran kisah cinta Gie di film
Walau terkesan gahar sebagai aktivis yang
keras menyuarakan kepentingan rakyat, ternyata Gie punya sisi manis yang tetap dekat
dengan sastra. Tidak hanya pandai menulis esai opini, ia pun pandai menyusun
rima dalam kata-kata. Yup, siapa sangka pria se-lakik Gie ternyata adalah
seorang penyair?
Puisinya, “Sebuah Tanya” barangkali jadi
salah satu potongan sajak yang paling dikenal oleh anak muda masa kini:
“apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta”
Masih kurang romantis? Ayo kita baca puisi
Gie yang ditulis pada tahun 1969:
“Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus
bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satupun setan
yang tahu
…… kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita
tak ‘kan pernah kehilangan apa-apa”
Ker, "cinta lama" Soe Hok Gie
Puisi tersebut konon ditulis Gie pasca galau
karena bingung bagaimana harus mengungkapkan perasaan pada Ker (Kartini
Sjahrir). Kisah cinta Gie memang agak misterius. Dia dikenal banyak memiliki
teman dekat wanita, namun hanya Ker lah yang membuat Gie bimbang. Pada akhirnya
Gie tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada Ker. Teman dekat Gie, Ciil
(Sjahrir) yang justru menikah dengan Ker.
Gie menunjukkan bahwa tidak semua perasaan
harus diungkapkan ke publik. Ia memilih menyimpan rasa yang paling privat itu
untuk diri sendiri dengan menuangkannya lewat sajak.
“Yang paling berharga dan hakiki dalam
kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan”
Pernah merasakan cinta yang dalam dan tulus
sudah cukup bagi Gie. Tidak bisa mendapatkan balasan yang diharapkan juga
dihadapinya dengan gagah dan tidak menye-menye. Kalau Gie masih hidup sampai
era Twitter, kamu tidak akan mendapati tweet galau dari akunnya. Alih-alih
nge-tweet galau, patah hati justru bisa diraciknya jadi kata-kata puitis nan
manis.
5. Mati Terhormat Dengan Indah
Semeru, tempat Gie wafat
Entah ada hubungannya atau tidak dengan
kematian dramatisnya di Gunung Semeru, semasa hidup Gie memang dikenal ingin
mati muda. Dalam “Catatan Seorang Demonstran” Gie menunjukkan bahwa ia sepakat
dengan perkataan seorang filsuf Yunani:
“nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang
kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua”
Gie meninggal saat mendaki puncak Mahameru,
puncak tertinggi Pulau Jawa tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke 27
tahun. Kematian Gie hingga saat ini belum bisa ditentukan secara pasti
penyebabnya.
Memorial Soe Hok Gie di Mahameru
Ada yang mengatakan bahwa Gie meninggal
karena menghirup zat beracun dari kawah Jonggring Saloka, Semeru. Ada pula yang
berpendapat bahwa kematian Gie memang telah direncanakan. Agar ia tak lagi
merecoki pemerintahan Soekarno dengan kritik pedasnya.
Gie memang sudah pergi. Namun semangat dan
perjuangannya akan terus terkenang di hati. Gie adalah bukti bahwa Indonesia
pernah punya anak muda yang gigih memperjuangkan keyakinan dan mimpi. Dibalik
carut marut negeri, ibu pertiwi pernah melahirkan pria sebaik Soe Hok Gie.
Bukan tak mungkin Gie-Gie lain akan segera lahir kembali, dari kita.
“Selamat jalan, Gie. Cita-citamu untuk mati
muda telah tercapai. Berbahagialah, dalam ketiadaanmu”
No comments:
Post a Comment